Berdasarkan izin dari Dekan FBS, kali ini kami sajikan secara lengkap isi orasi ilmiah yang disampaikan Prof. Dr. I Made Sutama, M.Pd. (Dekan FBS) pada hari Sabtu, 20 November 2010, di Gedung Auditorium Undiksha.
PEMBELAJARAN MENULIS YANG MEMUDAHKAN
Oleh Prof. Dr. I Made Sutama, M.Pd.
OM SWASTYASTU,
Yang terhormat Rektor Universitas Pendidikan Ganesha selaku Ketua Senat Universitas Pendidikan Ganesha,
Yang saya hormati:
1. Seluruh anggota Senat Universitas Pendidikan Ganesha
2. Para pejabat struktural di Lingkungan Universitas Pendidikan Ganesha
3. Pengurus Dharma Wanita Universitas Pendidikan Ganesha
4. Fungsionaris Lembaga Kemahasiswaan di Lingkungan Undiksha
5. Para undangan lainnya yang hadir pada kesempatan ini.
Puji syukur saya panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas anugerah Beliau peristiwa hari ini dapat terjadi. Pada kesempatan ini, saya akan menyampaikan perkembangan pemikiran dan kajian saya tentang pembelajaran menulis dalam 15 tahun terkahir ini di bawah judul Pembelajaran Menulis yang Memudahkan.
PENDAHULUAN
Keterampilan menulis wacana telah diajarkan secara bertahap dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, bahkan pada tahun-tahun awal perguruan tinggi. Meskipun demikian, pada jenjang yang paling akhir itu pun pembelajaran menulis masih menjadi momok bagi sebagian besar pembelajar dan belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Yang lebih parah lagi adalah pengajar pun enggan melaksanakan pembelajaran menulis. Keengganan itu dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah ketidakmampuan pengajar sendiri dalam menulis. Ini menjadikannya tidak tahu jelas bagaimana semestinya menulis diajarkan, kecuali dengan memberikan teori kepada pembelajar. Faktor kedua adalah bayangan beban mengoreksi dan memberi skor setelah tugas menulis diselesaikan oleh pembelajar.
Paparan di depan menunjukkan bahwa pembelajaran menulis bukan saja dianggap sebagai sesuatu yang sulit oleh pembelajar, tetapi juga dianggap beban berat oleh sebagian besar pengajar. Padahal, jika dilakukan dengan tepat, pembelajaran menulis sesungguhnya dapat dibuat mudah bagi kedua belah pihak dan memberi hasil yang diharapkan. Tentang bagaimana semestinya pembelajaran menulis dilaksanakan dan mengapa demikian akan dipaparkan selanjutnya.
PEMBAHASAN
Perkembangan Kemampuan Menulis
Pembelajaran tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan anak. Hal yang sama berlaku pula dalam pembelajaran bahasa. Untuk dapat menyelenggarakan pembelajaran bahasa dengan tepat, perkembangan bahasa anak perlu diketahui. Perkembangan bahasa anak mengikuti rute yang alamiah. Rute ini dalam banyak hal tidak dapat dibelokkan oleh pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa hanya dapat mempercepat laju perkembangan bahasa anak. Oleh karena itu, berkenaan dengan bahasan tentang pembelajaran menulis, tentang perkembangan kemampuan menulis anak perlu dikemukakan.
Walaupun kemampuan berbahasa itu memiliki empat aspek, keempat aspek itu mulai dikuasai tidak dalam kurun waktu yang bersamaan oleh anak. Mula-mula, yang tumbuh adalah kemampuan mendengarkan. Sementara, pertumbuhan kemampuan mendengarkan tetap berlangsung, kemampuan berbicara mulai berkembang. Yang menyusul selanjutnya adalah perkembangan kemampuan berbahasa tulis, dengan kemampuan membaca lebih dahulu, sebelum kemampuan menulis. Jadi, ada gejala bahwa awal perkembangan kemampuan berbahasa reseptif mendahului awal perkembangan berbahasa produktif; awal perkembangan kemampuan berbahasa lisan mendahului awal perkembangan kemampuan berbahasa tulis.
Dalam kasus belajar berbahasa lisan, mula-mula anak mendengarkan ujaran di sekitarnya, sambil mencoba memahaminya. Yang dicoba untuk dipahami bukan hanya makna ujaran, tetapi juga konstruksinya. Hasil pemahaman terhadap konstruksi itu dirumuskan menjadi dugaan-dugaan tentang apa makna ujaran dan bagaimana ujaran disusun. Dugaan-dugaan inilah yang kemudian dicobakan dalam aktivitas berbicaranya dan diperbaiki jika dalam kenyataan berbahasa dihadapi fakta-fakta yang menggugurkan dugaan yang telah dirumuskan.
Rangkaian aktivitas anak belajar berbahasa tulis tidak jauh berbeda. Awalnya adalah pemahaman juga, tetapi terhadap bahasa tulis di sekitarnya, melalui aktivitas membaca. Squire (1989: 25) mengatakan, “From these experiences, they intuitively and then sometimes consciously learn the form and conventions of particular genre.” Demikianlah, dalam hal memahami, yang dipahami bukan hanya makna bahasa tulis yang dihadapi, tetapi juga konstruksinya, sebagaimana yang dilakukan dalam belajar bahasa lisan. Pemahaman konstruksi itu akan dijadikan dasar untuk membangun sejumlah hipotesis. Gundlach (1982; 135) mengatakan,
Just as children learning to talk learn the underlying principles that govern the system of spoken language, making hypotheses and revising them as they make new conceptual connections, children also seem to develop general hypotheses about the principles that govern the system of written language.
Dalam aktivitas menulis tahap awal, sementara aktivitas belajar berbicara tetap berlangsung, hipotesis-hipotesis itulah yang dicobakan, sebagaimana dikatakan oleh Hudelson. Hudelson (1989: 19) mengatakan,
While they are still learning to talk, children also begin to figure out written language, making and testing hypoyheses about the way that written language is structured and used. They creat texts based on their hypotheses.
Namun, sebagaimana hipotesis pada umumnya, sifatnya adalah sementara. Jika dalam percobaannya hipotesis itu dipandang tidak cocok dengan kenyataan berbahasa tulis, hipotesis awal itu pun akan diubah. Lebih lanjut, karena teks diwujudkan berdasarkan hipotesis, maka cirri-ciri teks yang diciptakan oleh anak akan berubah sejalan dengan penyempurnaan hipotesis. “As their hypotheses change, so do their surface texts,” kata Hudelson (1989: 19). Dalam kasus proses belajar menulis seperti ini, faktor-faktor sosial, seperti aktivitas berbahasa di rumah, di lingkungan sekitar, dan pajanan media cetak di sekitar anak tampak berperan penting dalam mengembangkan pemahaman anak tentang tulisan. “The sosial context in which student engage in writing has a powerful impact on the type of writing they produce (DeFord, dalam Raphael et al., 1989: 265).”
Ada kesan bahwa pola proses belajar menulis seperti yang diuraikan di atas hanya berlangsung di dalam lingkungan yang tidak formal, di luar kelas. Kenyataannya tidak demikian. Karakteristik belajar bahasa tulis seperti itu terbawa pula ke dalam kelas.
Individuals generate their own rules for language formation, whether learning take places within or out side formal classroom environments and they use these rules in language comprehension or production whenever they are needed. (O’Malley dan Channot, 1990: 28).
Hanya saja, karakteristik belajar seperti itu, di kelas bahasa formal, berpadu dengan pemahaman tentang menulis dan upaya guru dalam menumbuhkan kemampuan menulis pada anak. Hudelson (1989: 24) mengatakan bahwa guru memegang peranan penting dalam perkembangan menulis anak; keyakinan dan asumsi yang dipegang oleh guru tentang menulis berpengaruh terhadap anggapan anak tentang menulis dan kemudian terhadap tulisan anak. Perpaduan itu bisa terjadi karena “the school is another important context of writing” (Hudelson, 1989: 19). Adanya fakta perpaduan semacam itulah yang tampaknya membuat Collins (1981), Elasser dan John Steiner (1977), Kroll (1980) (dalam Collins, 1984: 201-202) memiliki pandangan bahwa perkembangan menulis merupakan interaksi antara proses kognitif yang terjadi dalam menulis dengan konteks pengajaran dan budaya yang mempengaruhi proses itu; perkembangan menulis adalah suatu hibrida yang merupakan kombinasi perkembangan kematangan genetik dengan perkembangan belajar, baik itu karena pengajaran formal atau karena proses sosialisasi. Pandangan ini memperoleh dukungan dari Model Konteks Kultural. Menurut model ini, penulis (anak) merupakan bagian dari lingkungan sekolah (konteks formal) dan masyarakat (konteks informal) yang mempengaruhi mereka dalam semua aspek menulis secara interaktif (Soter, 1988: 179).
Adalah masuk akal jika pengajaran formal, dengan guru sebagai pengelolanya, dipandang memiliki pengaruh yang menentukan. Sebagaimana dikatakan oleh Vahapassi (1988: 59-60), dibandingkan dengan keterampilan berbahasa yang lain, menulis lebih merupakan aktivitas yang berbasis di sekolah. Sejumlah anak sudah dapat membaca ketika mereka mulai bersekolah, namun hanya sedikit yang telah dapat menulis pada saat yang sama. Membaca merupakan hiburan yang populer bagi anak di luar sekolah, sementara tidak demikian halnya dengan menulis. Namun, perlu disadari juga bahwa, kalaupun pengaruh perpaduan itu positif, pengaruh itu hanya akan terdapat pada percepatan perkembangan kemampuan menulis, bukan pada perubahan arah perkembangannya. Larsen-Freeman dan Long mengatakan,
The review of research on the effect of instruction on SL development suggest the following conclusions. First, formal SL instruction does not seem able to alter acquisition sequences, except temporarily and in trivial ways which may even hinder subsequent development. On the other hand, instruction has what are possibly positive effects on SLA process, clearly positive effects on the rate at which learners acquire the language, and probably beneficial effects on their ultimate level of attainment.
Sebagai akibat lebih dahulunya anak mengawali belajar berbahasa lisan daripada belajar berbahasa tulis, maka ada masanya anak mengalami transisi. Masa transisi yang dimaksud adalah peralihan dari pemahaman struktur gramatika bahasa lisan ke pemahaman struktur gramatika bahasa tulis. Transisi terjadi karena bahasa lisan dan bahasa tulis bukanlah dua hal yang bersifat dikotomis, sebagaimana sering disangka orang, melainkan dua hal yang ada dalam satu kontinum, membentang dari ujaran yang paling spontan sampai ke teks ekspositoris (Danielwicz, 1984: 234). Pada masa itu, anak mengalami kesulitas dalam hal mengonstruksi teks yang efektif; kesulitan mengubah sistem produksi bahasa percakapan yang kolaboratif menjadi sistem produksi bahasa tulis berkelanjutan tanpa ada lawan tutur yang dihadapi (Ruth dan Murphy, 1988: 212).
Pada tahap awal belajar menulis, biasanya sejak mereka mulai mendapat tugas menulis di sekolah, mereka menggunakan sumber daya linguistik yang mereka peroleh melalui aktivitas mendengarkan dan berbicara (Britton, dalam Yde dan Spoelders, 1985: 408). Padahal, “the grammatical structures of written language are characteristically different from those of speech, since writing is not simply a transcription of oral language (Parera, 1986: 494),” sehingga sistem yang kompleks yang diperoleh melalui aktivitas berbicara perlu disesuaikan dengan persyaratan bahasa dalam menulis (Bereiter dan Scardamalia, dalam Hidi dan Klaiman, 1984: 233). “Textual composition requires operation on language units removed from situational and interlocutory support” (Yde dan Spoelders, 1985: 408). Dihadapkan pada kondisi seperti itu, anak mengalami kesulitan dalam hal mengembangkan teks endoforik yang diperuntukkan bagi lawan komunikasi yang tidak dihadapi secara langsung seperti dalam berbicara. Anak juga mengalami kesulitan untuk mengingat informasi yang telah disampaikan sebelumnya dalam teks yang disusun.
Kroll (dalam Parera, 1986: 498) mengatakan ada empat fase yang dilalui oleh anak dalam belajar menulis, yang juga menandai adanya masa transisi, yaitu (1) fase persiapan (preparation phase), (2) fase konsolidasi (consolidation phase), (3) fase pembedaan (differentiation phase), dan (4) fase integrasi (integration phase). Selama fase persiapan, anak mempelajari aspek fisik tulisan tangan dan menyalin kata-kata yang ditulis untuknya, oleh orang dewasa. Pada masa konsolidasi, anak telah dapat menulis sendiri. Di Inggris, kebanyakan anak memasuki fase ini pada usia 7 tahun (Harpin, 1976; Wilkinson dkk., 1979). Namun, pada masa ini, mereka menulis dengan menggunakan struktur yang biasa mereka gunakan dalam berbicara. Pada masa pembedaan, bahasa tulis anak tidak lagi mencerminkan pola bahasa lisannya, melainkan telah menampakkan bentuk-bentuk gramatika bahasa tulis. Berdasarkan penelitian O’Donnell dkk., beberapa anak telah memasuki fase ini pada usia 9 atau 10 tahun. Fase integrasi hanya berhasil dicapai oleh sedikit penulis. Pada masa ini, struktur gramatika bahasa lisan dan bahasa tulis telah dapat dibedakan dengan sempurna dan secara sistematis telah diintegrasikan. Puncak transisi terjadi pada masa konsolidasi.
Keempat fase ini tampaknya merupakan kelanjutan dari masa belajar menulis yang lebih awal. Menurut sejumlah ahli (Ollila, 1992: 103), masa belajar itu terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) menggambar, (2) “menulis” cakar ayam, (3) menulis bentuk-bentuk yang mirip huruf, (4) menulis huruf, (5) menyalin kata, dan (6) menyadari bunyi huruf dan hubungan antarbunyi dalam konteks kata. Dengan lebih detil, Jalongo (1992: 208-217) mengatakan bahwa kemampuan menulis berkembang mulai dari tahap praalpabetis. Pada tahap ini, huruf belum dikenal oleh anak. Kalaupun anak membuat goresan, maka bentuk goresannya tidak konvensional. Tahap ini disusul dengan munculnya “tulisan” cakar ayam yang acak. Namun demikian, goresan-goresan itu dibangun oleh garis-garis yang tegas yang dibuat melalui gerakan-gerakan sederhana. Di sinilah kesempatan paling awal bagi anak untuk mengembangkan kemampuannya mengendalikan alat tulis. Tahap menulis cakar ayam merupakan tahap yang lebih terkontrol. Pada tahap ini, biasanya saat anak berusia 3 tahun, anak semakin mampu mengontrol goresannya. Goresannya mulai menampakkan pola, terutama cenderung linier. Memasuki usia 4 tahun, anak sampai pada tahap menamai goresan. Goresannya mulai diberi makna yang berhubungan dengan kata atau gambar. Jadi, anak mulai melihat hubungan antara tanda dengan kata atau objek nyata.
Setelah tahap ini terlampaui, goresan anak semakin konvensional dan mulai dapat dibaca. Anak mulai menulis huruf maupun angka secara berangkai. Namun, penempatannya masih acak. Selanjutnya, kira-kira pada usia 5 tahun, anak memasuki tahap menulis secara semikonvensional. Pada tahap ini, huruf-huruf ditulis secara berkelompok menyerupai kata. Namun, ukuran huruf-hurufnya kadang-kadang tidak sama. Ukuran huruf-huruf yang ditulis mulai tampak sama setelah anak memasuki tahap menulis secara konvensional, kira-kira pada saat mereka memasuki kelas satu SD. Pada tahap ini, anak juga mulai dapat menulis huruf besar dan huruf kecil secara benar.
Ada sejumlah hasil penelitian yang dapat dicatat, yang menunjukkan adanya tanda-tanda berkembangnya kemampuan menulis anak sejalan dengan peningkatan kelas dan usia, baik itu pada tingkat kalimat maupun pada tingkat wacana. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Hunt (1965, 1970), O’Donnele, Griffin, dan Norris (1967), yang menggunakan rata-rata jumlah kata per t-unit, rata-rata jumlah klausa per t-unit, dan rata-rata jumlah kata per klausa sebagai tolok ukur kematangan sintaktik, bahasa tulis berkembang secara kronologis. Hunt (1970) (dalam Parera, 1986: 495), berdasarkan dua penelitian, juga mencatat adanya perkembangan panjang klausa, yaitu rata-rata 6,5 kata pada usia 8 tahun, 7,7 kata pada usia 13 tahun, dan 8,6 kata pada usia 17 tahun. Perkembangan juga terjadi dalam hal cara klausa-klausa dikombinasikan, yaitu jumlah pengorganisasian klausa secara koordinatif menurun, sedangkan jumlah pengombinasian klausa secara subordinatif meningkat.
Pada tingkat wacana, dari hasil penelitian Matsushashi (dalam Ruth dan Murphy, 1988: 82), diketahui bahwa wacana narasi dikuasai lebih dulu dan secara lebih mudah oleh anak dibandingkan dengan wacana-wacana lain yang lebih abstrak. Fenomena ini mendapat penguatan dari Winch dkk. (2006). Menurut mereka, pada tahap awal, anak-anak lebih mudah menghasilkan wacana yang bersifat naratif dibandingkan dengan wacana yang bersifat analitis. Bartlett (1981: 7-10) mencatat adanya perkembangan seperti berikut. Dari data penelitian penguasaan wacana naratif diketahui bahwa anak mulai mempelajari wacana ini pada usia yang cukup dini. Namun, pengetahuan tentang wacana ini berkembang terus secara lambat selama masa SD dan SMP. Winch dkk. (2006), misalnya, menemukan bahwa cerita anak pada tahap awal memiliki elemen-elemen struktur dongeng, seperti dimulai dengan frase “pada suatu hari” dan diakhiri dengan “akhirnya mereka hidup berbahagia” yang diduga merupakan pengaruh dari kebiasaan mendengarkan atau membaca dongeng. Dari data penelitian penguasaan wacana ekspositoris diketahui bahwa perkembangan penguasaan pengetahuan tentang wacana ini bahkan memerlukan waktu lebih lama, bukan hanya sampai di SMP melainkan sampai di perguruan tinggi. Kebanyakan anak SD dan SMP baru memperoleh ciri-ciri dasarnya saja. Menurut Scardamalia (dalam Bartlett, 1981: 10), perkembangan penguasaan wacana ekspositoris yang lebih lama sebagian disebabkan oleh kompleksitas kognitif yang inheren dalam struktur logika wacana itu, sementara anak pada masa SD dan SMP masih mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan sejumlah ide ke dalam keseluruhan yang logis.
Berkaitan dengan keadaan wacana yang diproduksi oleh anak, ditemukan fakta sebagai berikut. Keadaan koherensi tulisan, baik pada tingkat lokal maupun pada tingkat global, menunjukkan perkembangan membaik seiring dengan peningkatan usia (Wright dan Rosenberg, 1993: 152). Sementara itu, dalam hal kohesi, dari satu penelitian terhadap tulisan asli dan hasil mengikuti dikte anak kelas satu dan dua di Negara bagian Ohio, Amerika Serikat (Squire, 1989: 21), diketahui bahwa pertama-tama anak mengandalkan pengaitan antarkalimat dengan menggunakan peranti referensi pronomina dan secara lebih jarang menggunakan peranti leksikal. Namun, dalam perkembangannya dari kelas satu ke kelas dua, porsi penggunaan peranti referensi nomina menurun, sedangkan porsi penggunaan peranti leksikal meningkat. Peranti konjungsi juga digunakan, tetapi porsi penggunaannya tidak merata. Pada tahap awal, penggunaan konjungsi and amat menonjol, namun semakin anak itu matang, semakin beragam peranti konjungsi yang digunakan, walaupun tetap dalam jumlah yang tidak berimbang (Bennet-Kastor, 1986: 368). Menurut penelitian Scott (dalam Bennet-Kastor, 1986: 356), yang subjeknya adalah anak usia 6-12 tahun, then digunakan dalam frekuensi yang paling sering, dan yang semakin sedikit digunakan secara berturut-turut adalah so, though, now, dan anyway. Di samping itu, diketahui pula bahwa anak usia 10-12 tahun menggunakan peranti konjungsi tiga kali lebih banyak dan lebih bervariasi dibandingkan dengan anak usia 6 tahun.
Pendekatan Pembelajaran Menulis yang Diterapkan
Sampai saat ini telah berkembang berbagai pandangan tentang menulis. Ada pandangan bahwa menulis adalah aktivitas sosial (Hull, 1989). Sebagai aktivitas sosial, menulis tidak pernah dilakukan dalam situasi vakum. Menulis adalah tindak komunikasi, sebagai upaya membagi hasil observasi, informasi, pikiran atau ide, dan pengalaman kepada orang lain (Cohen dan Reil, 1989). Jadi, tulisan umumnya ditujukan kepada orang lain dan untuk tujuan tertentu. Menulis, dengan demikian, secara alamiah selalu terjadi dalam konteks. Pandangan lain adalah menulis dianggap sebagai sebuah proses; dan, di dalam proses itu, terlibat aktivitas kognitif yang sangat kompleks (Scardamalia dan Bereiter, 1986; Glover dan Bruning, 1990). Aktivitas kognitif terjadi dalam ketiga tahapan utama dari proses menulis, yang meliputi perencanaan, penuangan, dan peninjauan (Hayes dan Flower, 1986). Ada pula pandangan bahwa, untuk dapat menulis dengan baik, diperlukan bukan hanya pengetahuan tentang topik yang akan ditulis, tetapi juga pengetahuan tentang pola atau struktur wacana (McCutchen, 1986).
Sejalan dengan masing-masing pandangan tentang menulis di atas, dikenal adanya sejumlah pendekatan dalam pembelajaran menulis, yaitu: pendekatan konteks, pendekatan proses, dan pendekatan pola (Shih, 1986; Raimes, 1991). Pendekatan konteks mengasumsikan bahwa di dalam aktivitas menulis yang sesungguhnya penulis berorientasi pada tujuan menulis dan pembaca yang menjadi sasaran tulisan. Implementasi dari penerapan pendekatan ini di dalam pembelajaran di kelas adalah siswa ditugasi untuk menulis dengan tujuan dan pembaca yang telah dispesifikasi. Lebih lanjut, dengan spesifikasi semacam itu, diharapkan siswa dapat menghasilkan tulisan dengan pola retorika yang baik.
Pendekatan proses mengasumsikan bahwa menulis terdiri atas beberapa tahap, yaitu: tahap perencanaan, tahap penuangan, dan tahap peninjauan yang tidak bersifat linier, tetapi bersifat rekursif. Akitivitas pramenulis, berdiskusi di dalam kelompok menulis, dan mencoba-coba menulis akan membantu mengembangkan kelancaran menulis, sekaligus mengatasi kemacetan dalam menulis yang diakibatkan oleh keterbatasan memori (Myers, 1983). Penerapan dari pendekatan ini di dalam pembelejaran menulis adalah siswa dibantu memahami proses menulis dan membangun repertoir strategi pramenulis, menulis, meninjau, dan menulis ulang. Lebih lanjut, siswa dituntun menjalani proses ini dengan harapan mereka dapat menghasilkan tulisan yang baik.
Pendekatan pola mengasumsikan bahwa perilaku berbahasa merupakan hasil peniruan dan perilaku berbahasa muncul karena dipicu oleh bahasa orang lain (Myers, 1983). Oleh karena itu, dalam pembelajarannya, siswa diajak menganalisis pola wacana yang dihadapi dan mempraktikkan pola-pola retorika yang ditemukan di dalam wacana itu. Sebagai medianya, sejumlah esai model disediakan. Dengan esai model seperti itu, diharapkan tumbuh kesadaran pada diri siswa akan pola-pola retorika. Sebagai tugas akhir pembelajaran, siswa diminta menulis dengan pola yang ditentukan.
Jika ketiga pendekatan pembelajaran menulis itu dicermati, tampak bahwa masing-masing memiliki kelebihan jika diterapkan dalam pembelajaran. Dengan pendekatan konteks, siswa tidak akan merasa bahwa menulis dilakukan hanya untuk memenuhi tugas dari guru, tetapi akan merasa berkomunikasi untuk mencapai tujuan tertentu dengan pembaca sasaran yang ditetapkan. Dengan pendekatan proses, kekurangan siswa dalam hal pengetahuan tentang topik yang akan ditulis akan teratasi, kelancaran mereka dalam menulis tidak akan terganggu oleh hal-hal yang bersifat gramatikal, dan kerendahan mutu tulisan mereka akan ditingkatkan melalui proses revisi. Dengan pendekatan pola, siswa akan terbantu meningkatkan penguasaan terhadap pola-pola wacana yang sangat diperlukan dalam menulis.
Bertolak dari kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing pendekatan, pembelajaran menulis dapat dikelola dengan menerapkan secara terpadu ketiga pendekatan di depan. Melalui sebuah penelitian tindakan kelas (PTK), Sutama dkk (1998) pernah memadukan pendekatan itu untuk meningkatkan mutu pembelajaran menulis di Sekolah Menengah Pertama. Pola pemaduannya adalah ketiga pendekatan itu diterapkan secara bertahap. Pada tahap pertama diterapkan pendekatan konteks. Pendekatan ini diterapkan untuk memberi orientasi tujuan dan sasaran tulisan kepada siswa. Pada tahap kedua diterapkan pendekatan proses. Pendekatan ini diterapkan untuk menuntun siswa melalui tahapan-tahapan dari penggalian ide sampai dengan penulisan draf pertama. Pada tahap ketiga diterapkan pendekatan pola. Pendekatan ini diterapkan untuk memberi gambaran kepada siswa tentang wacana ideal dalam rangkan melakukan revisi untuk menghasilkan draf akhir. Oleh karena itu, penerapan pendekatan ini memerlukan bantuan penggunaan wacana model. Ditemukan bahwa pemaduan ketiga pendekatan itu dapat meningkatkan mutu pembelajaran menulis.
Namun, ketiga pendekatan pembelajaran menulis itu tidak mesti diterapkan secara terpadu. Ada kalanya pada jenjang dan/atau dalam keadaan tertentu satu pendekatan yang cocok untuk diterapkan. Pada jenjang sekolah dasar, terutama pada kelas peralihan dari kelas rendah ke kelas tinggi, tempat pembelajaran menulis wacana mulai diperkenalkan, misalnya, pendekatan konteks cocok diterapkan. Dikatakan demikian karena pada jenjang itu, siswa belum bisa diajak berbicara banyak tentang teori menulis. Pemaksaan memperkenalkan istilah-istilah teknis dalam menulis justru akan semakin membingungkan siswa. Sebaliknya, dengan hanya memberi konteks menulis, terutama tujuan menulis, seperti menceritakan, membedakan, atau memberi pendapat tentang sesuatu, siswa pada jenjang itu akan dapat memproduksi tulisan dengan pola yang sesuai. Leki dkk. (2008) menyatakan, ”In supportive, meaning-oriented writing contexts, beginning L2 writers brought with them and were able to draw upon a variety of resources and startegies to succesfully create expresive texts that communicated meaning.” Berbeda halnya dengan pembelajaran menulis di sekolah menengah. Pada jenjang ini, pendekatan pola cocok untuk diterapkan. Penyebabnya adalah siswa pada jenjang sekolah menengah telah memiliki kemampuan analitis yang memadai untuk mencermati suatu teks sehingga dapat ditemukan pola ideal teks itu dan efektivitas bahasa yang digunakan. Penelitian Sriasih dan Sutama (2000) yang berjudul Pemanfaatan Opini pada Media Massa Cetak Remaja dalam Pembelajaran Menulis Wacana Argumentatif menunjukkan hal itu. Penelitian itu dilaksanakan dengan prosedur PTK pada siswa kelas II SMU Negeri 2 Singaraja. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa 94,11% siswa mampu menghasilkan wacana argumentasi dengan mutu yang memadai. Dalam tulisan argumentatif yang dihasilkan, siswa pada umumnya menyampaikan pendahuluan dengan pernyataan tesisnya, disusul dengan alasan dan simpulan.
Tugas Menulis yang Diberikan
Selama ini, ada dua jenis tugas menulis yang umum dipilih oleh pengajar untuk mengukur kemampuan pembelajar dalam menulis. Pertama, menulis dengan topik bebas, topik apa saja yang ingin ditulis oleh pembelajar. Kedua, menulis topik yang ditentukan oleh pengajar. Dalam hal ini, topik yang ditentukan bisa hanya satu; atau, topik yang disediakan bisa lebih dari satu, sehingga ada peluang bagi pembelajar untuk memilih. Namun, pengajar tampaknya tidak pernah memikirkan sama/tidaknya efek yang ditimbulkan oleh kedua jenis tugas itu pada diri pembelajar. Dalam memilihnya, tidak pernah digunakan dasar pertimbangan tertentu.
Untuk menentukan jenis tugas menulis yang akan diberikan kepada pembelajar, diperlukan pertimbangan teoretis. Pertimbangan teoretis inilah yang akan menuntun menuju pilihan yang tepat. Oleh karena itu, alur berpikir semacam itu perlu ditempuh dalam mengembangkan tugas menulis sebagaimana tecermin dalam uraian selanjutnya.
Inti perbedaan tugas menulis yang biasa dipilih oleh pengajar di atas adalah bebas dan tidak bebasnya pembelajar memilih topik, yang selanjutnya akan berdampak pada dimiliki atau tidak dimilikinya pengetahuan tentang topik itu oleh pembelajar.
Seberapa pentingkah pemilikan pengetahuan topik dalam menulis? Sampai saat ini, studi perbandingan tentang peran pengetahuan topik dalam menulis masih sedikit. Namun, adalah masuk akal untuk menganggap bahwa hal itu memiliki pengaruh, yakni seseorang akan dapat menulis dengan lebih baik kalau pengetahuan topik itu dimilikinya. (Read, 1991: 78).
Prediksi Read ternyata didukung oleh sejumlah fakta. Sejumlah penelitian mengisyaratkan bahwa pengabaian terhadap pengetahuan topik berarti pengabaian satu sumber utama kesulitan pembelajar dalam menulis (Newell dan Macadam, 1987: 156). Lebih lanjut, Newell dan Macadam (1987: 156) mengatakan bahwa pengetahuan topik yang dimiliki oleh penulis mempengaruhi apa yang mereka tulis dan bagaimana hal itu mereka tulis. Bila pembelajar diperkenankan memilih topik yang mereka kuasai, mereka akan menulis dengan lebih lancar dan akan menghasilkan tulisan yang terorganisasikan dengan lebih baik. Hal ini berlaku pula bagi penulis yang “baik”, yang telah menguasai berbagai jenis wacana. Keterampilan menulis mereka seketika menurun begitu menghadapi topik yang begitu asing bagi mereka (Newell dan Macadam, 1987: 157). Chesky dan Hiebert (1987: 309) menemukan fenomena yang sejalan dengan logika read. Ditemukan bahwa pembelajar yang ada dalam kelompok berpengetahuan topik tinggi mampu mengorganisasikan ide mereka secara integratif, sementara yang sebaliknya tidak. Dengan demikian, pengetahuan topik memainkan peranan yang pasti, yakni menyebabkan dihasilkannya tulisan yang lebih koheren.
Kerangka teori berperannya pengetahuan topik dalam menulis adalah sebagai berikut (McCutchen, 1986: 432). Untuk menulis, ada tiga bentuk pengetahuan yang diperlukan, yakni rencana tingkat tinggi (high-level plans), pengetahuan topik (content knowledge), dan pengetahuan wacana (discourse knowledge). Ketiga pengetahuan ini mempengaruhi tulisan yang dihasilkan, namun dengan cara yang berbeda-beda. Rencana tingkat tinggi dianggap membatasi, baik proses maupun produk. Akan tetapi, sementara rencana tingkat tinggi membatasi dan mengkoordinasikan proses, kebanyakan aktivitas menulis berlangsung pada tataran berikutnya. Pada tataran berikutnya ini, komponen isi (penentuan apa yang akan dibahas) berinteraksi dengan komponen wacana (penentuan bagaimana pembahasan itu disampaikan). Bertolak dari kerangka teori itu, maka, dalam melaksanakan tugas menulis, pembelajar akan dapat mengonsentrasikan diri pada komponen wacana kalau komponen isi sudah dikuasai atau dimiliki.
Pengaruh penguasaan pengetahuan topik dalam menghasilkan tulisan harus diupayakan sekecil mungkin, sehingga tidak terjadi pembelajar tertentu mencapai hasil yang buruk semata-mata karena tidak menguasai topik. Hughes (2008) menyarankan agar jangan ada keinginan untuk menguji hal lain , selain kemampuan menulis, ketika kita memberikan tugas menulis kepada pembelajar. Untuk itulah, pada tugas menulis yang akan diberikan kepada pembelajar, harus dibuka peluang untuk menulis topik yang memang dikuasainya.
Ada cara yang dapat ditempuh agar peluang semacam itu terbuka, sehingga pengaruh penguasaan pengetahuan topik pun terkurangi (Read, 1991: 78). Cara itu adalah memberikan kepada pembelajar sejumlah topik yang dapat dipilih. Pangkal tolak cara ini adalah asumsi bahwa ada rentangan minat dan latar belakang di antara pembelajar. Dengan memberikan kebebasan memilih, diharapkan masing-masing pembelajar menemukan setidak-tidaknya satu topik yang dapat memotivasinya untuk menulis dengan sebaik-baiknya.
Cara di atas menciptakan kemungkinan berbeda-bedanya topik yang ditulis oleh setiap pembelajar. Jacob dkk. (1981: 16), berdasarkan pendapat Coffman (1971) dan Deiderich (1974) yang telah disarikannya, mencemaskan kemungkinan seperti itu. Alasannya, tidak akan ada dasar yang benar-benar reliabel untuk membandingkan skor yang diperoleh dari pengerjaan tugas jika semua pembelajar mengerjakan tugas menulis yang berbeda-beda. Lebih dari itu, konsistensi penyekor atau reliabilitas evaluasi akan berkurang jika semua tulisan tidak membahas topik yang sama. Di samping itu, Scott (dalam Ruth dan Murphy, 1988: 22) berpendapat bahwa dalam praktik, kebebasan memilih topik tidak terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Banyak upaya tidak terarah dan tidak menentu yang dilakukan oleh anak. Dari pengalaman Scott memberikan kebebasan memilih topik yang akan ditulis oleh anak terungkap bahwa sering sekali anak tidak mampu menentukan topik mana yang sebaiknya mereka tulis untuk memperoleh skor terbaik. Pendapat di atas sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Mckay (2007). Dinyatakannya bahwa memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih topik memiliki beberapa keuntungan, yakni anak dapat menulis tentang sesuatu yang diminatinya, namun, kebebasan semacam itu dapat pula tidak menguntungkan dari segi waktu yang diperlukan untuk memilih topik dan dari segi penentuan ekuivalensi antarkarya anak.
Jalan keluar dari problema di atas adalah menetapkan topik yang sama yang harus dibahas oleh semua pembelajar, namun dengan menyediakan materi untuk topik itu. Read (1991: 78) mengatakan,
An alternative approach to the problem of the effect of background knowledge is to design tasks that provide the test-takers with relevant content material to work with. Thus, although differences in prior knowledge are not eliminated, the students all provided with subject matter to use in completing the writing task, so that the focus of their effort is not so much on generating ideas but more on expressing the ones provided in an appropriate manner.
Hanya saja, topik yang ditetapkan harus didasari oleh sejumlah pertimbangan yang matang (Jacob dkk., dalam Read, 1991: 78). Topik yang ditetapkan hendaklah sesuai dengan tingkat pengajaran dan minat pembelajar. Di samping itu, topik yang ditetapkan harus memotivasi pembelajar untuk mengomunikasikannya kepada pembaca dan jangan sampai topik yang ditetapkan itu hanya menguntungkan sekelompok kecil dari mereka. Dengan kata lain, topik yang ditetapkan haruslah merupakan subjek yang memungkinkan semua pembelajar memiliki cukup informasi atau pendapat yang relevan, sehingga memungkinkan mereka untuk menulis sesuai dengan kemampuan optimal mereka. Ruth dan Murphy (1988: 58) mengatakan,
No topic can absolutely guarantee equal access to knowledge of the subject matter for all participants in a test. But some topics provide more opportunities than others. For testing general writing competency, test makers should select subjects that give all students “something” to write about.
Yang masih menjadi masalah sekarang adalah bentuk penyajian materi yang harus dipilih, yaitu verbal atau nonverbal. Jika pembelajar yang akan dilibatkan dalam pengukuran berada pada tingkat yang berbeda, maka untuk menghindarkan bias sebagai akibat perbedaan kemampuan membaca yang merupakan hasil mengikuti pengajaran, lebih tepat tampaknya kalau bentuk penyajian materi yang dipilih adalah bentuk nonverbal. Weir (1990:62) mengatakan bahwa keuntungan stimulus nonverbal, jika mampu menyajikan informasi secara jelas dan tepat, adalah memungkinkan pembelajar untuk tidak berlama-lama dalam menghasilkan tulisan. Tugas menulis dengan menyajikan materi secara nonverbal akan semakin efektif jika meminta pembelajar mengomentari kecenderungan tertentu yang tampak dalam grafik, atau membandingkan dan mempertentangkan sepasang gambar yang berbeda. Stimulus yang berbeda dapat digunakan untuk memancing performansi pembelajar dalam beberapa fungsi bahasa yang berbeda, seperti argumentasi, deskripsi proses, perbandingan dan pertentangan, atau menulis seperangkat instruksi.
Berdasarkan semua uraian di atas, pemilihan jenis tugas menulis tampaknya dapat dilakukan. Namun, sebelum itu, perlu diungkap terlebih dahulu macam-macam tugas menulis yang dapat dipilih. Menurut Read (1991: 79-80), dengan mengadaptasi klasifikasi tugas belajar bahasa dari Notion, ada tiga tipe tugas yang relevan, yakni (1) tugas bebas (independent tasks), (2) tugas terarah (guided tasks), dan (3) tugas pengalaman (experience tasks). Masing-masing dapat didefinisikan sebagai berikut. Tugas bebas adalah tugas yang meminta pembelajar untuk menulis topik yang ditetapkan, tanpa sejumlah materi pengarah. Tugas ini mengasumsikan bahwa semua pembelajar memiliki pengetahuan latar belakang dalam bentuk informasi, ide, dan pendapat yang relevan dengan topik yang ditetapkan. Tugas bebas ini biasa disebut “menulis bebas”. Tugas terarah adalah tugas yang memberikan penuntun kepada pembelajar dalam menulis. Tuntunan itu dapat berupa tabel, grafik, gambar, atau materi bahasa yang relevan. Tugas terarah ini biasa disebut menulis tertuntun. Tugas pengalaman adalah tugas yang meminta pembelajar menemukan kembali materi dan keterampilan yang relevan yang diperoleh melalui pengalaman sebelum pembelajar menghadapi tugas menulis.
Jenis tugas menulis yang diberikan kepada siswa perlu disesuaikan dengan jenjangnya. Tugas menulis tertuntun, dengan gambar sebagai penuntunnya, misalnya, tampaknya tepat untuk anak-anak dari kelas III sampai dengan kelas VI Sekolah Dasar. “First of all, pictures provide a shared experience for students in the class… (Raimes, 1983: 27).” Sejalan dengan itu, Wright (1992) menyatakan bahwa gambar dapat memainkan sejumlah peran berikut ini dalam proses belajar-mengajar berbicara maupun menulis.
1. Gambar dapat memotivasi murid dan menarik perhatian mereka.
2. Gambar dapat member konteks penggunaan bahasa dan membawa dunia nyata ke dalam kelas.
3. Gambar dapat bercerita sebagaimana adanya, diinterpretasikan, atau dikomentari secara subjektif.
4. Gambar dapat memberikan isyarat tentang jawaban suatu pertenyaan.
5. Gambar dapat member stimulus dan informasi untuk diacu dalam bercakap-cakap, beriskusi, dan bercerita.
Melalui penelitiannya (1997) yang berjudul Penggunaan Gambar Berseri untuk Meningkatkan Mutu Pembelajaran Menulis di Kelas IV SD Laboratorium STKIP Singaraja, Nurjaya, Sutama, dan Wendra menemukan dukungan terhadap pernyataan itu. Dalam penelitian itu ditemukan beberapa hal. Pertama, siswa senang melakukan kegiatan menulis yang dibantu dengan gambar berseri. Kedua, model gambar yang kaya variasi atau ide dan lengkap mendorong mereka menulis secara lengkap dan detail. Ketiga, skor tulisan siswa sebagian besar di atas 75 dalam skala 100. Temuan ini sangat masuk akal. Wright (1992) menyatakan bahwa gambar dapat memotivasi dan menarik perhatian siswa serta dapat memberi stimulus dan informasi yang dapat diacu dalam bercerita.
Model Tes Menulis dan Penyekorannya
Secara tradisional, ada dua cara mengukur kemampuan menulis (Spandel dan Stiggins, 1990), yakni: cara langsung dan cara tidak langsung. Tes menulis-langsung menugasi pembelajar benar-benar menghasilkan sebuah tulisan. Tulisan ini, oleh penyekor, kemudian dibaca dan ditetapkan tingkat profisiensinya serta diberi skor berdasarkan kriteria penyekoran yang telah ditetapkan sebelumnya. Tes menulis-tidak langsung tidak menugasi pembelajar untuk menulis, melainkan menugasi pembelajar untuk memberi respon terhadap pertanyaan, yang biasanya berbentuk pilihan ganda, yang menyangkut bagian-bagian atau potongan-potongan tulisan orang lain. Dalam mengikuti tes menulis-tidak langsung, pembelajar harus menentukan, misalnya, mana di antara sejumlah kalimat yang mengandung kesalahan ejaan dan tanda baca, atau mana di antara sejumlah pilihan yang menunjukkan urutan kalimat yang baik.
Kedua cara pengukuran kemampuan menulis di atas memiliki kelebihan dan kekurangan. Walaupun dengan tingkat yang berbeda, keduanya mengandung objektivitas. Namun, oleh keduanya, objektivitas dicapai dengan cara yang berbeda (Spandel dan Stiggins, 1990). Tes menulis-langsung mencapai objektivitas dengan menggunakan kriteria penyekoran yang spesifik dan pemberi skor yang terlatih. Di pihak lain, tes menulis-tidak langsung mencapai objektivitas dengan kualitas butir-butir tesnya. Menyangkut kekurangan, tuduhan rupanya lebih banyak dialamatkan kepada tes menulis-tidak langsung. Braddock (dalam Perkins dan Parish, 1984) mengatakan bahwa penolakan paling serius terhadap tes menulis-tidak langsung, seperti tes menulis pilihan ganda, misalnya, didasarkan pada kerendahan validitasnya. Sementara, Jacob dkk. (1981) mengatakan bahwa tes menulis di kelas harus memiliki validitas konstruk, yakni mampu memberi informasi tentang kemampuan pembelajar untuk mengomunikasikan ide dan makna secara efektif melalui tulisan; dan memiliki validitas isi, yakni menugasi pembelajar untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas menulis yang komunikatif, yang kiranya akan mereka hadapi di luar kelas. Tes esai adalah alat yang tepat untuk mengukur kemampuan menulis, seperti kemampuan mengembangkan argumen, dan tidak dapat digantikan dengan alat lain (Weir, 1990). Pandangan Wright mendapat dukungan dari Hughes (2008). Ia menyatakan, ... the best way to test people’s writing ability is to get them to write. .... Even professional testing institutions are unable to construct indirect tests that measure wriitng ability accurately.”
Setelah tugas menulis diberikan dan tugas itu dapat diselesaikan oleh siswa, penyekoran perlu dilakukan. Ada berbagai cara untuk melakukan penyekoran terhadap tulisan yang bersifat umum sesuai dengan tujuan pengukuran, yaitu: (1) penyekoran secara holistik (holistic scoring system), (2) penyekoran secara analitik (analytic scoring system), dan (3) penyekoran secara terfokus (primary-trait scoring) (Lattief, 1990). Di dalam penyekoran secara holistik, tulisan dipandang sebagai sebuah unit atau suatu keseluruhan. Berdasarkan hal itu, sebuah tulisan diberi skor tunggal berdasarkan kualitas keseluruhannya. Skor ini merupakan representasi kesan umum penyekor terhadap tulisan yang diskor. Penyekoran semacam ini sangat bermanfaat dalam memberi informasi tentang kualitas keseluruhan sebuah tulisan, tidak memerlukan waktu lama untuk melakukannya, sehingga cocok digunakan dalam program evaluasi berskala besar. Namun, penyekoran semacam ini tidak cocok untuk pembelajaran karena (1) tidak memberi informasi rinci tentang pencapaian tujuan pembelajaran dan (2) memerlukan penyekor berketerampilan tinggi dan berpengalaman.
Di dalam penyekoran secara analitik, setiap aspek tulisan, seperti isi, organisasi, kosakata, bahasa, dan teknik penulisan, diberi skor tersendiri. Kemudian, skor masing-masing aspek dijumlahkan sehingga diperoleh skor total untuk sebuah tulisan. Karena masing-masing aspek harus diberi skor tersendiri, diperlukan penjelasan yang rinci yang memuat dalam kondisi bagaimana suatu aspek diberikan skor dengan besaran tertentu. Menurut Hughes (2008), penyekoran secara analitik memberi tiga manfaat, yaitu: (1) menyelesaikan masalah ketakseimbangan subketerampilan pada individu, (2) mendorong pemberi skor untuk mempertimbangkan semua aspek tulisan yang beberapa kadang-kadang terabaikan, dan (3) dengan memberikan sejumlah skor untuk sebuah tulisan, penyekoran akan menjadi lebih reliabel. Penyekoran secara analitik juga bermanfaat memberi informasi yang bersifat diagnostik karena memberi gambaran tentang pencapaian pembelajar dalam masing-masing aspek tulisan. Oleh karena itu, penyekoran seperti ini cocok digunakan dalam pembelajaran. Hanya saja, untuk dapat melakukan penyekoran dengan cara ini, diperlukan pelatihan.
Di dalam penyekoran secara terfokus, aspek dominan sebuah tulisan ditetapkan, dan penyekoran terhadap sebuah tulisan didasarkan pada kualitas dari aspek dominan tersebut. Dengan demikian, penyekoran seperti ini hanya cocok untuk memberi informasi tentang kualitas aspek tertentu dari sebuah tulisan. Penyekoran secara terfokus memiliki kesamaan dan perbedaan dengan penyekoran secara holistik. Keduanya hanya memberikan skor tunggal terhadap sebuah tulisan, namun proses penetapannya yang berbeda. Di dalam penyekoran secara terfokus hanya satu aspek yang dipertimbangkan, sementara dalam penyekoran secara holistik dipertimbangkan beberapa aspek sehingga informasi yang diberikan pun berbeda. Yang satu memberi informasi parsial, sementara yang lain memberi informasi menyeluruh.
Penyekoran secara terfokus juga memiliki kesamaan dan perbedaan dengan penyekoran secara analitik. Di dalam penyekoran secara terfokus, aspek dominan yang akan diberi skor didefinisikan sespesifik mungkin. Demikian juga aspek-aspek tulisan yang akan diberi skor secara analitik. Namun, keduanya berbeda dalam hal petunjuk penyekoran yang dikembangkan. Di dalam penyekoran secara terfokus, dikembangkan petunjuk penyekoran untuk satu aspek tulisan yang dijadikan fokus, sementara di dalam penyekoran secara analitik, dikembangkan petunjuk penyekoran untuk semua aspek tulisan.
Di samping cara penyekoran yang bersifat umum, ada cara penyekoran yang bersifat khusus. Cara penyekoran ini dikembangkan karena dirasakan ada kesenjangan antara praktik penyekoran yang telah diterapkan selama ini dan kriteria yang diharapkan oleh kemajuan dalam pengetahuan tentang struktur wacana (Connor dan Mbaye, 2002). Menurut teori yang berkembang, wacana tulis itu banyak jenisnya, dan masing-masing jenis memerlukan rubrik penyekoran yang berbeda-beda. Meskipun sebelumnya telah dikenal cara penyekoran yang bersifat analitik, yang di dalamnya menyertakan berbagai aspek, terutama aspek organisasi, cara ini tetap tidak beranjak dari pengertian organisasi yang sangat umum. Sementara, masing-masing jenis wacana, seperti naratif, deskriptif, eskpositoris, dan argumentatif maupun persuasif memiliki karakteristik organisasi tersendiri yang membedakan yang satu dengan yang lainnya.
Cara penyekoran yang berisfat khusus itu bertolak dari konsep kompetensi komunikatif model Canale dan Swain (1980) dan Canale (1981) yang semula diperuntukkan bagi analisis bahasa lisan (Connor dan Mbye, 2002). Dalam konsep itu, kompetensi komunikatif dipandang memiliki empat aspek, yaitu: kompetensi gramatika, , kompetensi wacana, kompetensi sosiolinguistik, dan kompotensi strategi. Kompetensi gramatika meliputi pengetahuan tentang butir-butir leksikal dan kaidah morfologi, sintaksis, semantik gramatika kalimat, dan fonologi. Kompetensi wacana meliputi kemampuan mengombinasikan kalimat dan membangun satuan bahasa yang bermakna di atas tataran kalimat. Kompetensi sosiolinguistik meliputi kaidah sosiokultural bahasa dan wacana. Kompetensi strategi meliputi strategi yang digunakan untuk mengatasi hambatan komunikasi. Cara ini dianggap bukan saja lebih mengintegrasikan berbagai keterampilan dan aspek bahasa ke dalam tes, tetapi juga menyertakan otentisitas dan konteks ke dalam tes bahasa. Sebagai contoh, dalam menyekor tulisan persuasif pembelajar, tiga aspek dijadikan fokus, yaitu: kekuatan rasional, kredibilitas, dan daya tarik afektif.
Persoalan Penyekoran Tulisan dan Pemecahannya
Satu sisi pembelajaran menulis yang paling ditakuti oleh pengajar adalah penyekoran. Hal ini sangat beralasan jika dikaitkan dengan kondisi persekolahan pada umumnya di Indonesia. Lembaga pendidikan di Indonesia cenderung memiliki kelas-kelas besar. Kondisi ini tentu memberi beban berat kepada pengajar dalam hal menyekor karya tulis siswa kalau, misalnya, kepada mereka diwajibkan untuk menerapkan penyekoran secara analitik. Beban ini dapat dikurangi jika cara yang dipilih adalah penyekoran secara holistik, yakni pengajar hanya memberi skor tunggal terhadap tulisan pembelajar berdasarkan kesan umum yang ditangkap. Namun, sebagaimana telah di sampaikan di depan, cara ini hanya dapat memberi gambaran umum tentang kondisi tulisan pembelajar sehingga tidak dapat dijadikan alat diagnosis maupun dasar perbaikan.
Untuk keluar dari situasi dilematis seperti itu, ada beberapa cara yang dapat ditempuh. Yang pertama adalah dengan menerapkan penyekoran terfokus secara berkelanjutan. Maksudnya adalah, dalam setiap kali pembelajar menghasilkan tulisan berdasarkan tugas yang diberikan, dilakukan penyekoran terhadap hanya satu aspek tulisan saja, apakah aspek organisasi saja, aspek bahasa saja, atau aspek yang lain. Aspek yang dijadikan fokus penyekoran yang perlu diganti-ganti sehingga, melalui sejumlah tugas menulis, semua aspek sempat mendapat perhatian dan gambaran menyeluruh tentang kemampuan menulis pembelajar dapat diungkap.
Cara yang kedua adalah, pada jenjang tertentu, seperti di sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, penyekoran secara analitik diterapkan, atau penyekoran yang berifat khusus, namun melalui penyekoran sendiri oleh pembelajar atau sejawatnya. Cara ini sesungguhnya disangsikan oleh beberapa pihak dalam kaitan dengan reliabilitasnya di dalam pengajaran formal (Harris, 1997). Blue (1988) (dalam Harris, 1997) yang mengkaji penyekoran sendiri oleh mahasiswa, misalnya, menyatakan bahwa cara ini memiliki keterbatasan yang serius jika digunakan untuk mengukur profisiensi berbahasa secara akurat. Sejalan dengan itu, Janssen-van Dieten (1989) dan Pierce, Swain, dan Hart (1993) dalam Harris (1997) mempertanyakan kemampuan pembelajar mengukur kemajuannya.
Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa cara ini tidak bisa digunakan karena ada pihak lain yang berpendapat sebaliknya, dan kelemahannya bisa diatasi. Melalui suatu penelitian, Bachman dan Palmer (1989) dan Blanche (1990) (dalam Harris, 1997) menemukan bahwa ada korelasi tinggi antara penyekoran sendiri oleh pembelajar dan penyekoran oleh pengajar. Sejalan dengan itu, Todd (2003), misalnya, menyatakan bahwa pembelajar dapat melakukan penyekoran sendiri secara reliabel. Memang dinyatakan pula bahwa penyekoran sendiri akan sulit dilakukan untuk tugas-tugas open-ended. Namun, menurutnya, hal itu dapat diatasi dengan penyediaan petunjuk penyekoran yang mendetail. Dengan cara itu, kegiatan penyekoran sendiri akan menjadi bagian integral dari proses menulis (Harris, 1997), dan reliabilitas penyekorannya dapat dijamin sehingga hasilnya dapat digunakan untuk menetapkan skor akhir mata kuliah (Todd, 2003).
Cara lain yang dapat ditempuh untuk mengimbangi penyekoran sendiri adalah penyekoran oleh sejawat. Penyekoran oleh sejawat akan menjadi pembanding dari penyekoran yang dilakukan terhadap karya sendiri (Harris, 1997). Potensinya sebagai pembanding sesungguhnya bersumber pada kecenderungan bahwa seseorang bersifat egosentris dalam mencermati teks (Flower, 1979; Graves, 1981; Kroll, 1978, dalam Fitzgerald, 1987). Artinya, ketika mencermati karya sendiri, orang cenderung tidak teliti, tetapi ketika mencermati karya orang lain, orang cenderung menjadi sangat teliti. Dengan demikian, dengan ketelitiannya, sejawat akan dapat memberi skor dengan lebih akurat. Selain itu, adanya penyekor sejawat akan menjadikan audiens dalam penulisan itu nyata (DiPardo, 1988), sesuatu yang sangat diperlukan oleh seorang penulis ketika menulis karena menulis adalah aktivitas interaktif (Porto, 2001), dan sekaligus juga mengurangi beban pengajar (Dixon, 1986).
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar pemberian respon oleh sejawat berjalan efektif (Hansen dan Liu, 2005). Hal-hal tersebut adalah berikut ini
Di samping ada cara untuk mengatasi kelemahannya, penyekoran sendiri memiliki sejumlah kelebihan. Harris (1997) menyatakan bahwa ada dua kelebihan yang dimiliki olehpenyekoran sendiri. Pertama, penyekoran sendiri merupakan salah satu pilar otonomi pembelajar yang sangat didengung-dengungkan dalam penerapan kurikulum berbasis kompetensi dan salah satu elemen fundamental dari konsep belajar mandiri, yang akan mengarahkan pembelajar memfokuskan aktivitas belajarnya. Cresswell (2000) menyatakan, ”Students self-monitoring is a valuable way of increasing the element of autonomy in the learning of writing.”Kedua, penyekoran sendiri dapat meningkatkan kesadaran terhadap kemajuan sendiri, bukan hanya berkenaan dengan bahasa, tetapi juga dengan tujuan-tujuan komunikasi, sehingga perkembangan keterampilan dapat dilihat sebagai sesuatu yang bersifat gradual. Menurut Todd (2003), penyekoran sendiri dalam pembelajaran keterampilan berbahasa memiliki sejumlah kelebihan di bawah ini.
(1) Penyekoran sendiri merupakan prasyarat belajar mandiri. Jika tujuan pembelajaran adalah untuk menjadikan pembelajar independen dalam penggunaan bahasa, maka pelatihan dan pengalaman untuk melakukan penyekoran sendiri diperlukan.
(2) Penyekoran sendiri dapat membangkitkan kesadaran pembelajar tentang bahasa, cara yang efektif untuk belajar, dan performansi serta kebutuhan mereka.
(3) Penyekoran sendiri meningkatkan motivasi dan orientasi tujuan dalam belajar.
(4) Sejumlah aspek belajar bahasa, seperti upaya dan kepercayaan pembelajar, hanya dapat ditetapkan melalui perenungan diri (self-assessment).
(5) Penyekoran sendiri dapat mengurangi beban kerja pengajar.
Berdasarkan hal itu, penyekoran sendiri sesungguhnya dapa diintegrasikan ke dalam perkuliahan untuk mencapai tujuan-tujuan belajar, sekaligus mengurangi beratnya beban pengajar dalam menyekor.
Kelebihan lain dari penyekoran sendiri dikemukakan oleh Harris (1997). Dinyatakannya bahwa banyak siswa maupun mahasiswa merupakan pembelajar pasif. Mereka hanya memiliki target lulus atau memperoleh nilai memadai dalam suatu mata pelajaran atau mata kuliah yang akan berkontribusi pada studi selanjutnya atau pada saat mencari kerja. Dalam konteks ini, penyekoran sendiri dapat mendorong pembelajar untuk lebih aktif, untuk menyadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab besar dalam belajar. Penyekoran sendiri dapat membentu pembelajar untuk menidentifikasi kekuatan dan kelemahannya, dan memanfaatkan hasilnya untuk berpikir apa yang mesti dilakukan kemudian untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Sutama dan Rasmi (2005) melaksanakan penelitian dengan judul Penyekoran Sendiri oleh Mahasiswa untuk Mengatasi Masalah Evaluasi pada Kelas Besar. Penelitian ini menggunakan prosedur PTK dengan mahasiswa peserta mata kuliah Menulis 1 pada Jurusan PBSID, FPBS, IKIP Negeri Singaraja sebagai subjeknya. Di samping ditemukan bahwa tindakan itu dapat mengatasi masalah yang dihadapi, tanggapan mahasiswa terhadap penyekoran sendiri juga positif. Meraka menyatakan bahwa penyekoran sendiri (oleh mahasiswa) berbantuan profil memberi banyak manfaat, seperti: (1) dapat memberi skor sesuai dengan aspek tulisan, (2) dapat mengetahui/membedakan tulisan yang baik dan yang buruk, (3) dapat dijadikan patokan dalam menulis, (4) dapat menuntun memperoleh nilai yang tinggi, (5) dapat mengetahui kondisi tulisan sendiri atau mengukur kemampuan sendiri, (6) terlatih memberi skor, (7) memudahkan pemberian skor, (8) dapat mengetahui kesalahan, (9) lebih objektif dalam menilai tulisan, (10) penyekoran dapat dipertanggung jawabkan, (11) dapat melihat hubungan antara kondisi tulisan dan skor yang layak diberikan, (12) meningkatkan kemampuan menganalisis paragraf, (13) menambah semangat untuk melakukan perbaikan pada saat memperoleh skor rendah dari teman, (14) membimbing pengembangan kemampuan menulis, (15) mendorong pembacaan paragraf secara cermat sebelum pemberian skor, (16) dapat menakar keluasan gagasan dan efektivitas bahasa tulisan, (17) memudahkan menghasilkan paragraf yang baik, (18) terbiasa memberi skor dengan benar terhadap suatu tulisan, (19) mempercepat proses penyekoran, dan (20) meningkatkan kemampuan menilai tulisan.
Cara ketiga untuk mengatasi beban berat mengoreksi dan menyekor tulisan pembelajar adalah dengan mengelola pembelajaran menulis dengan menerapkan pendekatan proses dan metode kerja kelompok. Porto (2001), meminjam istilah dari Bryan (1996), menamai model ini dengan cooperative writing response group. Dengan cara ini, dalam pembelajaran menulis, pembelajar dikelompokkan dengan anggota kelompok tiga sampai lima orang. Di dalam kelompok, mereka diberi tugas menghasilkan draf pertama tulisan dengan pola tertentu melalui tahapan-tahapan dalam proses menulis. Dengan cara ini, mereka akan saling menawarkan topik beserta rincian idenya maupun cara atau bahasa pengungkapannya dan memutuskan untuk menetapkan salah satu tawaran topik beserta ide penunjang maupun bahasa pengungkapannya. Selanjutnya, antarkelompok dilakukan pertukaran karya untuk dikoreksi atau diberi skor dalam rangka perbaikan untuk menghasilkan draf akhir. Alwasilah dan Alwasilah (2007) memberi nama kegiatan itu menulis berjamaah. Menurut mereka, belajar menulis dengan cara itu dapat dilakukan karena sejumlah alasan. Pertama, kolaborasi adalah ajang bertegur sapa dan bersilaturahmi pengetahuan karena setiap orang memiliki kelebihan tersendiri. Kedua, di dalam kolaborasi ada upaya saling mengingatkan yang akan menjadikan anggota semakin mengenali potensi diri dan mampu menghasilkan tulisan yang lebih bernas. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Winch dkk. (2006) bahwa ”conferencing with the teacher and peers help students how to communicate their meaning and to structure their texts in more striking and purposeful ways.”
Untuk meningkatkan efektivitas pemberian respon oleh sejawat, hal-hal berikut ini perlu dilakukan (Hansen dan Liu, 2005).
1. Rencanakan kapan pemberian respon oleh sejawat diberikan dalam proses menulis.
2. Putuskan kapan saat yang tepat bagi pengajar untuk memberi komentar.
3. Diskusikan pengalaman yang dimiliki sebelumnya oleh pembelajar berkenaan dengan pemberian respon sejawat dan kerja kelompok.
4. Ciptakan suasana saling mempercayai antar pembelajar.
5. Pilih cara pemberian respon yang tepat (lisan, tertulis, tertulis dan lisan, atau bermedia komputer).
6. Rancang lembar pemberian respon yang sesuai keperluan.
7. Beri contoh proses pemberian respon.
8. Berikan cukup waktu kepada pembelajar untuk terbiasa dengan prosedur pemberian respon oleh sejawat.
9. Berikan pembelajar kebebasan untuk membuat kelompok dan menetapkan aturan di dalam kelompok.
10. Berikan pembelajar strategi linguistik untuk menyampaikan koreksi yang tidak menyinggung perasaan.
Pembelajaran Gramatika dalam Pembelajaran Menulis
Tentang perlu atau tidaknya pembelajaran gramatika dalam pembelajaran bahasa, ada banyak pendapat. Ada pendapat ekstrem yang menyatakan bahwa gramatika sama sekali tidak perlu diajarkan karena penguasaannya akan terjadi dengan sendirinya sebagai akibat dari interaksi dan komunikasi yang dilakukan (Celce-Murcia, 1990). Namun, sejumlah penelitian (Long, 1983; Rutherford dan Sharwood Smith, 1988, dalam Celce-Murcia, 1991) dengan jelas menunjukkan bahwa gramatika sangat diperlukan dalam rangka mencapai ketaatazasan dan kelancaran produksi bahasa. Bahkan, Richards (dalam Celce-Murcia, 1991) menyatakan tidak ada data empiris yang dapat dijadikan bukti bahwa kelas bahasa dengan pendekatan komunikatif yang sama sekali mengabaikan pengajaran gramatika dapat menghasilkan pembelajar dengan kemampuan berbahasa yang lebih baik daripada kelas bahasa dengan pendekatan tradisional. Terlalu gegabah untuk menyatakan bahwa berkomuniaksi secara aktif atau berinteraksi secara intensif di dalam kelas bahasa akan menjamin penguasaan gramatika (Besse dan Porquier dalam Girard, 1990). Dengan demikian, gramatika tetap menempati posisi sentral dalam pembelajaran bahasa (Byrd, 1998).
Siswa memerlukan gramatika dalam berbahasa. Gramatika tak ubahnya sebuah peta dari suatu bahasa yang akan membantu mereka menemukan struktur linguistik yang sistematis yang akan mereka gunakan untuk menunjang kelancaran berbahasa (Kohonen dkk., 1988). Oleh karena itu, peniadaan pengajaran gramatika dalam pengajaran bahasa, yang berpendekatan komunikatif sekalipun, tidak dapat dilakukan mengingat peran pentingnya di dalam menunjang kemampuan berbahasa yang komunikatif. Menurut Canale dan Swain (dalam Hiep, 2005), kompotensi komunikatif terdiri atas empat unsur, yaitu: kompetensi gramatika, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana, dan kompetensi strategi. Kompetensi gramatika merujuk pada kompetensi linguistik yang meliputi pengetahuan sintaksis, pengetahuan fonologi, dan sistem leksikologi. Kompetensi sosiolingustik berkenaan dengan kaidah sosial pengguanaan bahasa yang meliputi pemahaman terhadap konteks sosial terjadinya komunikasi yang mencakup hubungan peran, pengetahuan bersama tentang partisipan, dan tujuan komunikatif interaksi yang dilakukan. Kompetensi wacana adalah kemampuan memahami pesan individual dan maknanya dalam hubungannya dengan teks dan wacana secara keseluruhan. Kompetensi strategi menyangkut strategi yang diterapkan untuk mencapai keberhasilan komunikasi, seperti bagaimana mengambil inisiatif, menghentikan, mempertahankan, dan memperbaiki percakapan. Berdasarkan hal ini, pembelajaran gramatika dalam pembelajaran bahasa tidak mungkin ditinggalkan.
Sebagai konsekuensi dianutnya pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa, Celce-Murcia (1991) mengatakan bahwa cara pandang terhadap gramatika perlu diubah. Gramatika hendaknya jangan lagi dipelajari/diajarkan semata-mata untuk menguasai gramatika itu sendiri, melainkan dipelajari/diajarkan sebagai alat untuk memahami dan memproduksi bahasa lisan dan tulis. Untuk itu, Rionda (1981) mengatakan bahwa gramatika dan keterampilan berbahasa (berbicara serta menulis) perlu dipelajari secara terpadu di dalam kelas, bukan sebagai bagian-bagian dari suatu sistem yang masing-masing berdiri sendiri. Sejalan dengan itu, Mitchell (dalam Borg dan Burns, 2008) menyatakan, ”Grammar teaching need to be supported and embedded in meaning-orinted activities and tasks which give immediate opportunities for practice and use .”
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengintegrasikan pengajaran gramatika ke dalam pengajaran keterampilan berbahasa, khususnya menulis. Di dalam pengajaran menulis, dikenal ada tiga pendekatan, yaitu: pendekatan pola, konteks, dan proses. Pendekatan proses terbukti memudahkan siswa dalam belajar menulis (Sutama dkk., 1998). Pendekatan proses memiliki asumsi bahwa tulisan tidak dihasilkan dengan sekali menulis langsung jadi, namun dihasilkan melalui proses kognnitif yang kompleks (Hull, 1989; Glover dan Bruning, 1990) yang terdiri dari beberapa tahap, yaitu: penentuan topik tulisan, penggalian materi tulisan, penulisan draf awal, revisi draf awal, dan penulisan draf akhir. Jika menulis diajarkan dengan pendekatan proses, maka sangat dimungkinkan untuk memasukkan pembahasan tentang gramatika di dalam tahap revisi. Seperti diketahui, revisi tidak hanya perlu dilakukan terhadap aspek isi, organisasi, diksi, dan ejaan serta tanda baca, tetapi juga terhadap aspek gramatika tulisan.
Revisi bukanlah semata-mata perbaikan yang dilakukan oleh siswa atas tulusannya sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Chaudron (1984), satu komponen penting di dalam proses revisi adalah pemberian balikan kepada tulisan siswa yang dapat diberikan oleh guru dan/atau siswa lain. ”Peer readers can provide usefu feedback” (Rollinson, 2005). Tanpa masukan seperti itu, hanya sedikit revisi yang akan dilakukan oleh siswa. Sebaliknya, dengan adanya masukan, baik dari guru maupun siswa lain., aktivitas melakukan revisi menjadi meningkat sehingga meningkat pula mutu tulisan siswa (Fitzgerald, 1987). Balikan (feed-back) merupakan sesuatu yang esensial dalam proses menulis (Muncie, 2000; Xiang, 2004). Ini berarti bahwa melalui proses pemberian masukan telah terjadi proses pembelajaran. Karena di antara masukan yang diberikan termasuk pula masukan yang berkaitan dengan penyempurnaan aspek gramatika, di dalam proses revisi sesungguhnya terjadi pula proses pembelajaran gramatika. Hal ini dapat terjadi karena, berdasarkan hasil penelitian Cohen (1991), siswa membuat catatan mental atas masukan yang diberikan, mengidentifikasi masukan yang belum jelas, dan menanyakannya untuk mendapat kejelasan.
Berdasarkan paparan seperti di atas, pernah dilakukan penelitian oleh Suwandi dan Sutama (2000) dengan rumusan masalah bagaimana mengintegrasikan pengajaran gramatika ke dalam pengajaran menulis sehingga dapat meningkatkan kegairahan dan keberhasilan siswa dalm mempelajari gramatika. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan subjek siswa kelas III IPS SMU 1 Singaraja tahun ajaran 1999/2000 yang berjumlah 15 orang dengan langkah-langkah seperti berikut ini.
(1) Dengan menggunakan pendekatan proses, guru meminta siswa mengembangkan topik tertentu menjadi sebuah paragraf (draf awal).
(2) Paragraf yang dihasilkan oleh siswa dikumpulkan untuk dianalisis kesalahan gramatikanya oleh tim peneliti.
(3) Seluruh kesalahan gramatika yang ditemukan diklasifikasikan.
(4) Kesalahan-kesalahan gramatika yang telah diklasifikasikan dipaparkan dan dibahas di dalam kelas.
(5) Draf awal yang telah dihasilkan oleh siswa dibagikan untuk diidentifikasi ulang kesalahan gramatikanya oleh siswa lain.
(6) Hasil identifikasi itu diserahkan kepada siswa pemilik paragraf.
(7) Siswa pemilik paragraf merevisi draf awal paragrafnya dan menyalinnya menjadi draf akhir.
(8) Draf akhir dikumpulkan untuk dievaluasi.
Selama pelaksanaan tindakan dilakukan pemantauan dan setelah tindakan dilaksanakan dilakukan evaluasi melalui penghitungan jumlah kesalahan gramatika dan wawancara. Hasil penghitungan terhadap jumlah kesalahan gramatika pada tulisan siswa menunjukkan bahwa terjadi penurunan kesalahan gramatika dari draf awal ke draf akhir, dari secara total 80 pada draf awal menjadi 48 pada draf akhir. Sementara itu, hasil wawancara menunjukkan bahwa hanya 13,33% siswa menyatakan cara yang diterapkan tidak menarik.
Meskipun demikian, masih ada hal-hal yang dipandang perlu disempurnakan dalam pelakasanaan tindakan itu. Dalam hubungannya dengan sistem koreksi, disadari bahwa mengoreksi kesalahan gramatika bagi siswa tidak cukup berdasarkan penjelasan beberapa ragam kesalahan dari guru. Mengoreksi kesalahan gramatika memerlukan pengetahuan yang luas tentang aneka kesalahan gramatika beserta contoh-contohnya. Oleh karena itu, untuk menambah pengetahuan siswa dalam rangka mengoreksi kesalahan gramatika karangan temannya, sekaligus dalam rangka memperbaiki tulisan mereka sendiri, disiapkan panduan perbaikan kesalahan gramatika. Dengan panduan ini, diharapkan siswa dapat lebih mudah mengidentifikasi dan mengklasifikasi kesalahan gramatika yang ada dan pada akhirnya mereka lebih mudah juga dalam memperbaiki kesalahan gramatika tulisannya. Di samping disiapkan panduan panduan perbaikan kesalahan gramatika, disiapkan pula lembar identifikasi kesalahan gramatika. Dengan lembar ini, diharapkan pengoreksian bisa berjalan lebih lancar dan lebih efektif.
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembelajaran Menulis
Teknologi telah berkembang demikian cepat, terutama di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Hampir setiap hari, melalui berbagai media, kita disodori perubahan cepat yang terjadi pada bidang itu dalam berbagai aspeknya. Dunia pengajaran memerlukan dukungan teknologi dan, oleh karena itu, perkembangan tersebut perlu direspon dengan baik, terutama oleh kalangan pengajar, termasuk pengajar di bidang bahasa. Winch dkk. (2006) menyatakan, ”As educators in the 21st century, we need to accomodate the new information and communication technology in the context of literacy education. ICT can be harnessed to exploit pedagogical potential in the classroom.”
Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari pemanfaatan TIK dalam pembelajaran menulis. Berikut ini adalah sejumlah manfaat yang dimaksud (Winch dkk., 2006).
- TIK mengembangkan pemahaman dan kesadaran yang lebih baik tentang struktur dasar tulisan dan teks-teks visual.
- TIK dapat memberi kualitas penampilan yang tinggi yang dapat memotivasi siswa yang menghadapi masalah dalam menulis tangan.
- TIK memungkinkan siswa merefleksikan tulisannya dan melakukan penyempurnaan secara mudah dengan berbagai menu yang tersedia.
- TIK membantu siswa menulis teks yang lebih menarik karena adanya akses ke berbagai variasi informasi.
- TIK memungkinkan identifikasi, pengecekan, dan perbaikan kesalahan gramatika dan ejaan.
- TIK memungkinkan siswa menyimpan dan membuka kembali dengan mudah karya tuis yang dihasilkan.
- TIK mendorong terjadinya proses menulis individual maupun kolaboratif.
- TIK memberi kemungkinan kreasi multimedia, misalnya dengan memadukan citra grafis, suara, dan video dengan teks tertulis.
- TIK dapat memacu siswa untuk menulis lebih lama karena adanya kapasitas pengeditan.
- TIK memberi kemungkinan publikasi dan komunikasi bukan hanya di dalam kelas, tetapi juga ke seluruh dunia.
- TIK menumbuhkan keberanian mengambil resiko dan kreativias di dalam menulis.
- TIK memungkinkan penerapan pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Ke depan, perkembangan TIK juga akan memberi manfaat pada pelaksanaan asesmen terhadap tulisan, sekalipun. Jamieson (2005) menyatakan bahwa gerakan menuju penggunaan komputer secara lebih luas dalam asesmen telah bersanding dengan asumsi bahwa tes berbasis komputer harus lebih baik daripada model tes sebelumnya, dan sejumlah langkah yang berkenaan dengan hal itu telah diambil. Ilmu bahasa (linguistiics) korpus telah memberi alat untuk menciptakan asesmen yang lebih otentik. Tuntutan terhadap otentisitas juga telah memotivasi penyertaan tugas dan konstruk yang lebih kompleks. Kedua inovasi itu telah mulai dipadukan ke dalam tes bahasa berbasis komputer. Pemrosesan bahasa secara alamiah (natural language processing) juga telah memberikan alat bagi komputerisasi penyekoran esai sehingga lahir berbagai sistem penyekoran esai, seperti Project Essay Grader (PEG), Intelligent Essay Assessor (IEA), atau E-rater and Criterion (Douglas dan Heigelheimer, 2007). Perkembangan ini tentu akan menjadi salah satu jalan keluar untuk mengatasi beratnya beban pengajar dalam menyekor tulisan pembelajar.
Namun perlu disadari bahwa teknologi, apa pun wujudnya, pada umumnya seperti pisau bermata dua: memberi manfaat di satu sisi, sementara di sisi lain membawa mudarat. Di balik manfaat TIK bagi pembelajaran, ada juga dampak buruk yang perlu diwaspadai. Amstrong dan Casement (dalam Winch dkk., 2006) menyatakan bahwa pada setiap manfaat ditemukan antitesis. Misalnya, dengan TIK, siswa dapat menyusun tulisan dengan informasi dari berbagai sumber. Namun, dalam hal ini bisa saja yang dilakukan oleh siswa hanya menjiplak atau menata ulang teks yang diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Sebagaimana diketahui, plagiarisme adalah salah satu masalah lintas keahlian dan profesi dan telah semakin menjadi-jadi pada abad elektronik sekarang ini dibandingkan dengan pada masa sebelumnya (Flowerdew dan Li, 2007).
Persoalan yang ada bukan hanya terkait dengan adanya dampak buruk TIK, tetapi juga kesiapan pengajar memanfaatkan kemajuan teknologi. Kebanyakan pengajar setuju bahwa komputer dapat mendorong praktik menulis di dalam kelas. Akan tetapi, peran tradisional pengajar dan pembelajar di dalam kelas ketika pembelajaran berlangsung perlu dinegosiasi ulang. Agar sukses dalam memanfaatkan teknologi di dalam kelas, menurut Winch dkk. (2006), beberapa hal perlu dimiliki oleh pengajar, seperti:
1. Sikap positif terhadap teknologi dan keinginan untuk memanfaatkan dan bereksperimen dengan teknologi,
2. Pengetahuan tentang situs dan perangkat lunak dan daya evaluasi kritis terhadapnya,
3. Pengetahuan tentang isu pedagogik dalam menggunakan teknologi dengan siswa,
4. Keterampilan menggunakan sumber daya teknologi dalam program pembelajaran,
5. Kemampuan mengevaluasi proses dan hasil belajar siswa berbasis teknologi,
6. Kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber berbasis web,
7. Kemampuan menggunakan perangkat lunak,
8. Kemampuan menggunakan perangkat lunak komunikasi, seperti surat elektronik(e-mail) dan diskusi online.
PENUTUP
Ketakutan pembelajar dan pengajar terhadap pembelajaran menulis tidak perlu terjadi. Hal ini disebabkan oleh pembelajaran menulis sesungguhnya dapat dibuat menjadi mudah baik bagi pembelajar maupun pengajar. Untuk itu, diperlukan kecermatan untuk memilih pendekatan pembelajarannya, jenis tugas yang diberikan, dan cara menyekor tugas menulis yang dihasilkan. Apalagi kalau pembelajaran menulis itu ditunjang oleh pemanfaatan TIK secara bijaksana.
Ucapan Terima Kasih
Di sepanjang perjalanan hidup saya menuju puncak karir akademik seperti sekarang ini, ada banyak pihak yang berperan. Oleh karena itu, pada kesempatan yang berbahagia ini, perkenankan saya menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak berikut ini.
Yang pertama dan utama tentu ibu saya beserta almarhum ayah saya dan ibu dan ayah mertua (almarhum) . Dari beliau saya memperoleh kasih sayang, belajar disiplin, kerja keras, dan hidup sederhana, sesuatu yang menjadi cikal bakal keberhasilan saat ini.
Kedua, saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh guru/dosen saya mulai dari jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi, jenjang S3. Beliau semua telah mencurahkan seluruh upayanya memberi ilmu pengetahuan dan pendidikan yang turut mewarnai sosok saya seperti sekarang ini.
Ketiga, saya harus mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang secara khusus berperan dalam perkembangan karir saya sejak mencoba memasuki jenjang karir sebagai dosen sampai mencapai jabatan fungsional seperti sekarang. Di antara beliau, ada Prof. Dr. Ketut Seken, M.A., Drs. Nyoman Seloka Sudiara, M.Pd., Prof. Dr. I Made Gosong, M.Pd., Bapak Prof. Putu Jayanegara, S.H., Prof. Dr. Wayan Rai, M.S., Prof. Dr. Nyoman Dantes, Prof. Dr. Suparman Hs., Prof. Dr. Sumarsono, Dra. Sang Ayu Putu Sriasih, M.Pd., Drs. I Gusti Ngurah Pujawan, M.Si., dan Drs. Nyoman Jampel, M.Pd. Di samping itu, terima kasih juga saya sampaikan kepada para mantan pemimpin lembaga ini, seperti Prof. Drs. Ketut Rindjin dan Prof. Dr. I Gede Wija atas pembinaan yang diberikan.
Keempat, saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor beserta anggota Senat Universitas Pendidikan Ganesha yang telah menyetujui usul kenaikan jabatan fungsional saya ke jenjang Guru Besar.
Kelima, saya menyampaikan terima kasih kepada Ketua Jurusan PBSI, FBS, Undiksha, Kabag Kepegawaian beserta staf atas pemrosesan usul kenaikan jabatan fungsional saya ke jenjang Guru Besar.
Keenam, saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh senior dan sahabat, yang tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu, yang selama ini selalu memberi nasihat dan dorongan untuk maju.
Ketujuh, saya perlu menyampaikan terima kasih secara berturut-turut kepada keluarga Ir. Sang Putu Oka Gunawan, M.Si, keluarga Ni Ketut Sumiati, dan keluarga Dra. Ni Luh Warini. Keluarga ini telah menjadi teman saya pada masa-masa sulit.
Ke delapan, saya harus mengucapkan terima kasih kepada istri saya beserta seluruh anak-anak, meskipun saya sadar sepenuhnya bahwa kata itu sangat tidak cukup untuk membalas seluruh pengorbanan mereka selama ini; terima kasih juga saya sampaikan kepada saudara dan ipar saya Dra. Ni Wayan Suasti beserta Drs. I Made Yadnya, Ir. I Nyoman Buana beserta Dra. Ni Nyoman Yasi, Ir. Ni Ketut Yudani beserta Gede Himawan, I Made Sumadita, S.H. beserta Ni Wayan Sri Artini, S.E. atas dukungannya selama ini.
Terakhir, saya menyampaikan sembah sujud dan terima kasih saya kepada Rasa Acharya Prabhu Raja Dharmayasa yang telah mengarahkan langkah saya ke jalan spiritual sehingga mencapai kondisi seperti sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar dan Alwasilah, Senny Suzanna. 2007. Pokoknya Menulis: Cara Baru Menulis dengan Metode Kolaborasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Bartlett, Elsa Jaffe. 1981. Learning to Write: Some Cognitive and Linguistic Components. Washington D.C. : Center for Applied Linguistics.
Bennet-Kastor, Tina L. 1986. “Noun Phrases and Coherence in Child Narratives.” Journal of Child Language, 1 (10): 135-149).
Borg, Simon and Burns, Anne. 2008. “Intgrating Grammar in Adult TESOL Classrooms.” Applied Linguistics, 29 (3): 456-482).
Byrd, Patricia. 1998. “Grammar in the Foreign Language Classroom: Making Principled Choices.” Dalam Burkart, Grace Stovall (Ed.). Modules for the Professional Preparation of Teaching Assistants in Foreign Languages. Washington, DC: Center for Applied Linguistics.
Celce-Murcia, Marianne. 1991. “What Role for Grammar after the Communicative Revolution?” Dalam Anivan, Sarinee (ed.). Language Teaching Methodology for the Nineties. Singapore: SEMEO RELC.
Celce-Murcia, Marianne. 1991. “Grammar Pedagogy in Second and Foreign Language Teaching.” TESOL Quarterly, 25 (3): 459-480.
Chesky, John and Hiebert, Elfrida H. 1987. “The Effect of Prior Knowledge and Audience on High School Students Writing.” The Journal of Educational Research, 5 (80): 304-313.
Cohen, Andrew D. 1991. “Feed Back on Writing: The Use of Verbal Report”. SSLA.
Cohen, Moshe dan Reil, Margaret. 1989. “The Effect of Distant Audiences on Students’ Writing.” American Educational Research Journal, 26 (2): 143-159.
Collins, James L. 1984. ”The Development of Writing Ability During the School Years.” in Pellegrini, Anthony D. And Yawkey, Thomas D. The Development of Oral and Written Language in Sosial Contexts. Noorwood: ABLEX Publishing Coorporation.
Connor, Ulla dan Mbeye, Aymerou. 2002. ”Discourse Approach to Writing Assessment.” Annual Review of Applied Linguistics, 22: 263-278.
Cresswell, Andy. 2000. ”Self-monitoring in student writing: developing learner responsibility.” ELT Journal, 54 (3): 235-244.
Danielewicz, Jane M. 1984. ”The Interaction between Text and Context: A Study of How Adults and Children Use Spoken and Written
Language in Four Contexts.” in Pellegrini, Anthony D. And Yawkey, Thomas D. The Development of Oral and Written Language in Sosial Contexts. Noorwood: ABLEX Publishing Coorporation.
DiPardo, Anne dan Freedman, Sarah Warshauer. 1988. “Peer Response Group in The Writing Classroom: Theoretic Foundations and New Directions”. Review of Educational Research.
Dixon, Duncan. 1986. “Teaching Composition to Large Classes”. English Teaching Forum.
Fitzgerald, Jill. 1987. “Research on Revision in Writing”. Review of Educational Research.
Flowerdew, John and Li, Yongyan. 2007. “Plagiarism and Second Language Writing in an Electronis Age.” Annual Review of Applied Linguistics, 27: 161-183.
Hansen, Jette G. and Liu, Ju. 2005. “Guiding principle for effektif peer response.” ELT Journal, 59 (1): 31-38.
Harris, Michael. 1997. “Self Assessment of Language Learning in Formal Settings”. ELT Journal.
Glover, john A. and Bruning, Roger H. 1990. Educational Psychology: Principles and Applications. USA: Harper Collins Publishers.
Gundlach, Robert A. 1982. ”Children as Writers: The Beginnings of Learning to Write.” in Nystrand, Martin (Ed.). What Writers Know. New York: Academic Press.
Hayes, John R. dan Flower, Linda S. 1986. “Writing Research and the Writer.” American Psychologist, 41 (10): 1106-1113.
Hidi, Suzanne and Klaiman, Roslyn. 1984. “Children’s written Dialogues: Intermediatery between Conversation and Written Text?” in Pelegrini, Anthony D. and Yawkey, Thomas D. The Development of Oral and Written Language in Sosial Contexts. Norwood: ABLEX Publishing Corporation.
Hudelson, Sarah. 1989. Write On: Children Writing in ESL. Englewood Cliffs: Prentice-Hall Regents.
Hughes, Arthur. 2008. Testing for Language Teachers. Cambridge: Cambridge University Press.
Hull, Glynda Ann. 1989. “Research on Writing: Building a Cognitive and Sosial Understanding on Composing.” Dalam Resnick, Lauren B. dan Klopfer, Leopold E. Toward the Thinking Curriculum: Current Cognitive Research. …: ASCD.
Jacob, Holly L. dkk. 1981. Testing ESL Composition: A Practical Approach. Rowley: Newbury House Publishers, Inc.
Jalongo, Mary Renck. 1992. Early Chilhood Language Arts. Boston: allyn and Bacon.
Jamieson, Joan. 2005. “Trends in Computer-based Second Language Assessment.” Annual Review of Applied Linguistics, 25: 228-242.
Kohonon, Viljo. 1988. “Evaluation in Relation to Communicative Language Teaching.” Dalam Trim, J. (Ed.). Evaluation and Testing in the Learning and Teaching of Language for Communication. Strasbourg: Council of Europe.
Latief, Mohammad Adnan. 1990. Assessment of Writing Skills for Students of English as A Foreign Language at the Institute of Teacher Training And Education IKIP Malang Indonesia (Disertasi Tidak Dipublikasikan)
Leki, Ilona, Cumming, Alister, and Silva, Tony. 2008. A Synthesis of Research on Second Language Writing in English. New York: Routledge.
McCutchen, Deborah. 1986. “Domain Knowledge and Linguistic Knowledge in the Development of Writing Ability.” Journal of Memory and Language, 4 (25): 431-444.
Mckay, Penny. 2007. Assessing Young Language Learners. Cambridge: Cambridge University Press.
Myers, Miles. 1983. “Approach to the Teaching of Composition.” Dalam Myers, Miles dan Gray, James (Ed.). Theory and Practice in the teaching of Composition: Processing, Distancing, and Modeling. Urbana: National Council of Teachers of English.
Muncie, James. 2000. “Using written teacher feedback in EFL composition classes.” ELT Journal, 54 (2): 47-53.
Newel, George E. and McAdam, Phyliss. 1987. “Examining the Source of Writing Problems: An Instrument for Measuring Writers Topik Specific Knowledge.” Written Communication, 2 (4): 156-174.
Nurjaya, I Gede, Sutama, I Made, dan Wendra I Wayan. 1997. Penggunaan Gambar Berseri untuk Meningkatkan Mutu Pembelajaran Keterampilan menulis Siswa Kelas IV SD Lab. STKIP Singaraja (Laporan Hasil Penelitian).
Ollila, Lloyd O. and Mayfield, Mergie I. 1992. Emerging Literacy. Boston: allyn and Bacon.
O’Malley, J. Michel and Cannot, Anna Uhl. 1990. Learning Strategies in Second Language Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.
Parera, Katherine. 1986. “Language Acquisition and Writing.” in Fletcher, Paul and Garman, Michael. Langguage Acquisition. Cambridge University Press.
Perkins, Kyle and Parish, Charles. 1984. “Direct versus Indirect Measures of Writing Proficiency: Research in ESL Composition.” in Perkins, Kyle. On Composistion. Singapore: SEAMEO RELC.
Porto, Melina. 2001. “Coperative writing response groups and self-evaluation.” ELT Journal, 55 (1): 38-46.
Raimes, Ann. 1991. “Out of Woods: Emerging Traditions in the Teaching of Writing.” TESOL Quarterly, 20 (4): 407-429.
Raphael, Taffy E., Englert, Carol Sue, and Kirschner, Becky W. 1989. ”Acquisition of Expository Writing Skills.” in Mason, Jana M. (Ed.). Reading and Writing Connections. Boston: Allyn and Bacon.
Read, John A.S. 1991. “The Validity of Writing Test Tasks.” Dalam Anivan Sarinee. Current Development in LanguageTesting. Singapore: SEAMEO RELC.
Rollinson, Paul. 2005. “Using peer feedback in the ESL writing class.” ELT Journal, 59 (1): 23-30.
Ruth, Leo and Murphy, Sandra. 1988. Designing Writing Task for the Assessment of Writing. Noorwood: ABLEX Publishing Company.
Scardamalia, Marlene dan Bereiter, Carl. 1986. “Research on Written Composition.” Dalam Wittrock, Merlin C. (Ed.). Handbook of Research on Teaching. New York: Micmillan Publishing Company.
Shih, May, 1986. “Content-Based Approach to the Teaching academic Writing.” TESOL Quarterly, 20 (4): 617-648.
Spandel, Vicki dan Stiggins, Richard J. 1990. Creating Writers. New York: Longman.
Soter, Anna O. 1988. ”The Second Language Learner and Cultural Transfer in Narration.” in Purves, Alan C. Writing Across Language and Cultures. Newbury Park: SAGE Publications.
Squire, James E. 1989. “Tracing the Development of Writing.” in Mason, Jana M. (Ed.). Reading and Writing Connections. Boston: Allyn and Bacon.
Sriasih, Sang Ayu Putu dan Sutama, I Made. 2000. Pemanfaatan Opini pada Media Massa Cetak Remaja dalam Pembelajaran Menulis Wacana Argumentasi (Hasil Penelitian Tidak Diterbitkan).
Sutama, I Made dkk. 1998. Pemaduan Pendekatan Konteks, Proses, dan Pola dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran Menulis (Laporan Penelitian Tidak Diterbitkan).
Weir, Cyril J. 1990. Communicative Language Testing. New York: Prentice Hall.
Winch, Gordon et al. 2006. Literacy: Reading, Writing, and Children Literature. Oxford: Oxford University Press.
Wright, Raumond E. and Rosenberg, seldom. 1993. “Knowledge of Text Coherence and Expository Writing: A Developmental Study.” Journal of Educational Psychology, 1 (85): 152-158.
Xiang, Wang. 2004. “Encouraging self-monitoring writing by Chinese students.” ELT Journal, 58 (3): 238-246.
Yde, Philip and Spoelders, Marc. 1985. ”Txt Cohesion: An Exploratory Study with Beginning Writers.” Applied Pshycholinguistics, 6 (1): 407-416.
RIWAYAT HIDUP
I Made Sutama lahir pada tanggal 24 April 1960 di Banjar Padangtegal Kaja, Ubud, Gianyar. Ia merupakan putra kedua dari pasangan I Wayan Lebok (almarhum) dan Ni Wayan Cameng. Ia lulus dari SD 1 Ubud pada tahun 1972, lulus dari SMP Negeri Ubud pada tahun 1975, lulus dari SPG Negeri Denpasar pada tahun 1979, lulus dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unud pada tahun 1985, lulus dari Program S2 Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia PPs IKIP Malang pada tahun 1992, dan lulus dari Program S3 Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia PPs IKIP Malang pada tahun 1997.
Pada saat menempuh pendidikan pada Program S3, ia menikahi Dra. Ni Wayan Sumiasih, dari Banjar Pitera, Desa Pitera, Penebel, Tabanan, putri pertama dari pasangan I Wayan Sumadi (almarhum) dan Ni Wayan Sudiasih. Dari pernikahan itu, lahir dua putri dan dua putra, yaitu: Ni Wayan Pertiwi Dharayanti, Ni Made Pujastuti Rahayu, I Nyoman Budi Satya Utama, dan I Ketut Setyarta Mahotama.
I Made Sutama diangkat menjadi dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unud pada tahun 1986. Sampai sekarang, ada beberapa jabatan yang pernah diembannya. Di bidang sosial, ia pernah menjadi Koordinator Penasihat KMHD Yowana Brahma Widya selama hampir 10 tahun, menjadi Ketua Bidang II Tempekan Jana Nuraga, organisasi karyawan yang beragama Hindu, periode 2000-2004, Ketua Tempekan Jana Nuraga periode 2004-2008 dan 2009-2013. Ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Yayasan IKIP Negeri Singaraja/Undiksha yang mengurusi Sekolah Laboratorium periode 2000-2004 dan 2004-2008 dan menjadi Ketua Yayasan Undiksha periode 2008-2012. Di bidang struktural, ia pernah menjabat Pembantu Dekan I FPBS IKIP Negeri Singaraja periode 2002-2006 dan menjabat Dekan FBS Undiksha periode 2006-2011.
PENGALAMAN MENGIKUTI FORUM ILMIAH NASIONAL
(dalam lima tahun terakhir)
1. Menyajikan makalah dengan judul Menyelamatkan Bahasa Daerah melalui Pengajaran pada Seminar Nasional Sosiolinguistik II, 2006, di Semarang.
2. Menyajikan makalah dengan judul Menyelamatkan Bahasa Bali dalam Dua Jam Pelajaran pada Kongres Bahasa Bali, 2006, di Denpasar.
3. Menyajikan makalah dengan judul Pengintegrasian Pembelajaran Gramatika ke dalam Pembelajaran Menulis pada Seminar Nasional Himpunan Pembina Bahasa Indoesia (HPBI), 2007, di Surabaya.
4. Menyajikan makalah dengan judul Tanggapan Mahasiswa terhadap Penyekoran Sendiri dalam Mata Kuliah Menulis 1 pada Kongres Linguistik Nasional (KLN), 2007, di Surakarta.
5. Menyajikan makalah dengan judul RSBI dalam Konteks Perkembangan Bahasa Indonesia dalam Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI), 2008, di Magelang.
6. Menyajikan makalah dengan judul Evaluasi yang Membelajarkan dalam Pembelajaran Menulis bagi Pembelajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) pada seminar Nasional dan Workshop Pengujian Bahasa, 2010, di Jakarta.
7. Menyajikan makalah dengan judul Pengembangan Karakter Calon Guru melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dalam Konferensi Internasional Pendidikan Guru bagi Pembangunan Karakter dan Budaya Bangsa, 2010, di Bandung.